Bije Widjajanto shares his thought

Manusia dilahirkan untuk memberi arti bagi orang lain. Saya membagikan ide dan pemikiran saya lewat posting dalam blog ini dengan harapan ada yang bermanfaat bagi para pembaca. Topik yang saya angkat dalam blog ini berkisar antara: membangun motivas diri, self leadership, team building, konsep business development dan secara khusus franchising. Saya membuka diri bagi para pembaca yang ingin memberi masukan, komentar, kritik, saran ataupun koreksi.

Monday, January 02, 2006

JATI DIRI = POTENSI DIRI (MOTIVATION #07)

Di setiap perjalanan bersama istri saya, saat membayar parkir selalu menjadi saat yang sangat kritis atau saat yang sangat menegangkan. Membayar tukang parkir jalanan ataupun di loket2 parkir profesional ala Secure Parking, sama saja. Untuk membayar ongkos parkir tersebut saya harus memilih uang yang paling jelek, kusut dan baunya paling menyengat.

Seperti layaknya ibu2 lainnya, istri saya termasuk jenis yang tidak suka menyimpan uang kumal di dalam dompetnya. Setiap mendapat kembalian uang2 kumal pasti langsung disumpel2kan di handle pintu mobil supaya dapat ditransaksikan terlebih dahulu. Sekali saja saya keliru membayar dengan uang yang masih bagus, sementara uang2 kumal masih banyak, maka pasti saya akan mendapatkan hukuman berat. Jadi walaupun sebenarnya saya tidak sependapat, ya akhirnya saya harus patuh kepadanya.

Bagi saya, uang, apapun bentuknya, bagaimanapun rupa dan baunya, sama saja. Uang tetap memiliki daya tukar sesuai dengan angka yang tertulis di sana. Uang pecahan 5 ribu rupiah yang baru keluar dari bank, permukaannya masih licin, nomor serinya masih berurutan, baunya masih wangi tercampur dengan wangi parfum teller yang menghitungnya. Kalau uang tersebut saya bawa ke warung bakso bisa saya tukarkan dengan 1 mangkuk bakso lezat.

Ketika uang baru itu saya remet sehingga tidak licin lagi, dan saya bawa ke warung bakso yang sama, saya masih tetap mendapatkan 1 mangkuk bakso lezat. Begitu juga ketika uang tersebut jatuh ke tanah, diinjak2 sehingga kotor, atau terbuang ke tempat sampah bercampur dengan sampah2 yang bau, atau bahkan sudah dikencingi anjing sehingga jangankan rupa dan bentuknya, baunya pun tidak membuat orang tertarik untuk menyimpan. Tetapi ketika uang tersebut diambil lagi dan di bawa ke warung bakso yang sama, saya tetap mendapatkan 1 mangkuk bakso yang lezat dan harumnya masih sama dengan ketika saya datang membawa uang baru.

Itulah ‘jati diri’. Uang memiliki jati diri yang sama tidak pandang bentuk, rupa dan baunya. Selama masih utuh dan tulisannya bisa dibaca, uang mempunyai nilai tukar yang sama. Cerita tentang uang ini, kemudian mengajak saya kembali pada cerita ‘pohoong’-nya cak Ipul beberapa waktu lalu. Sempat mengemuka topik ‘potensi diri’ dari bahasannya mas Suaidi. Selintas juga tersangkut dengan tulisannya mas Mualib ‘Aku Ingin MENJADI kaya, bukan KELIHATAN Kaya’.

Setelah lebih dari 1 bulan absen dan hanya nge-ROM saja, saya ingin membuka kembali rubrik self leadership ini dengan topik ‘jati diri’ ini. Dalam kehidupan nyata, orang cenderung sulit untuk mengenal jati dirinya sendiri. Pada usia kepala 3 biasanya orang baru mendapatkan/mengenal jati dirinya. Itupun terkadang masih salah atau belum tepat. Secara sengaja Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang unique, selalu berbeda satu dengan lainnya. Sehingga potensi di dalamnya pun selalu berbeda. Apabila ada 10 orang manusia, maka di sana pasti ada 10 macam manusia.

Faktor terberat dalam mengenal jati diri seseorang adalah kurangnya self-esteem yang kuat. Referensi dari luar sering membelenggu kesadaran kita sehingga timbul kekuatan untuk menilai jati diri kita dengan ukuran2 jati diri orang lain. Selain itu referensi itu berupa penilaian orang lain terhadap diri kita yang kemudian kita terima dan kita yakini. Berkaitan dengan keyakinan diri ini, ada 3 tingkat referensi sebagai berikut:

  1. Percaya bagaimana orang lain menilai diri kita
  2. Percaya bagaimana kita menilai diri kita sendiri
  3. Percaya kita bisa memaksimalkan diri kita sesuai dengan jati diri yang kita miliki

Bagi orang2 yang mencapai level 3, sukses merupakan sebuah jaminan. Setiap orang sehat secara rohani, selalu mempunyai potensi diri yang apabila dimaksimalkan bisa berbuah luar biasa. Sementara orang yang hanya berada pada level 1 akan sangat labil, mereka tidak pernah mencapai jati diri yang sesungguhnya. Mereka akan terpengaruh oleh lingkungannya, dan pada umumnya pengaruh tersebut negatif.

Pada umumnya manusia memiliki sifat egois, berapapun kecil kadarnya, yang selalu menolak kehadiran orang lain yang lebih sukses. Orang selalu tidak menginginkan orang lain menjadi nomor 1. Pengaruh luar tersebut akan mem-bonsai jati diri kita sehingga kita tidak mencapai jati diri yang sesungguhnya.

Ada sebuah uji laboratorium terhadap bonsai karakter ini, yaitu diterapkan pada belalang, sehingga disebut juga dengan ‘test belalang’. Secara alamiah, belalang dewasa mempunyai kemampuan untuk melompat setinggi 150 kali tinggi tubuhnya dan meloncat 100 kali panjang tubuhnya. Belalang tersebut dimasukkan ke dalam kotak kaca setinggi 20cm. Maka ketika belalang tersebut melompat, dia akan menabrak atap kotak tersebut. Benturan2 tsb memberi pelajaran kepada belalang yang akhirnya dia akan menyesuaikan tinggi lompatannya dengan tinggi kotak. Dengan berjalannya waktu, biasanya dalam hitungan jam, belalang tersebut sudah menjadi pinter sehingga ketika melompat tidak lagi terbentur kaca.

Ketika belalang sudah terbiasa dengan tinggi kotak 20cm, kotak direndahkan lagi menjadi 10 cm. Setelah beberapa kali terbentur kaca, akhirnya belalangpun menyesuaikan dengan tinggi kotak yang baru. Selanjutnya kotak diperpendek lagi, sampai akhirnya hanya tinggal 2 kali tinggi tubuhnya dan belalang sama sekali tidak bisa melompat. Setelah berada pada kondisi tersebut beberapa waktu, akhirnya belalang benar2 tidak bisa melompat lagi ketika dikeluarkan dari kotak.

Semoga bermanfaat dan selamat berjuang menemukan jati diri.

Salam,

Bije Widjajanto

www.benwarg.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home